Ketika Sastra dan Gastronomi Menjadi Bahasa Diplomasi Budaya Indonesia di Panggung Global

Rabu, 24 Desember 2025 | 10:01:38 WIB
Ketika Sastra dan Gastronomi Menjadi Bahasa Diplomasi Budaya Indonesia di Panggung Global

JAKARTA - Upaya memperkenalkan identitas bangsa ke dunia internasional tidak selalu harus dilakukan melalui forum formal dan perundingan politik. Di balik aroma masakan dan kekuatan cerita, tersimpan potensi besar yang mampu menyentuh rasa, emosi, dan pemahaman lintas budaya secara lebih mendalam.

Inilah sudut pandang yang diangkat Kementerian Kebudayaan dalam melihat diplomasi budaya Indonesia. Sastra dan gastronomi diposisikan bukan sekadar ekspresi seni, tetapi sebagai medium strategis yang mampu menjembatani dialog antarbangsa.

Melalui pendekatan yang lebih manusiawi dan dekat dengan keseharian, diplomasi budaya diharapkan mampu membangun citra Indonesia secara berkelanjutan. Dua elemen ini dinilai mampu menghadirkan cerita tentang nilai, sejarah, dan karakter bangsa dengan cara yang mudah diterima.

Atas dasar pemikiran tersebut, Direktorat Jenderal Diplomasi, Promosi, dan Kerja Sama Kebudayaan menyelenggarakan gelar wicara bertajuk “Dari Kata ke Rasa”. Kegiatan ini menjadi ruang refleksi dan diskusi mengenai peran sastra dan gastronomi dalam memperkuat posisi Indonesia di kancah global.

Sastra dan Gastronomi sebagai Kekuatan Identitas Bangsa

Direktur Jenderal Diplomasi, Promosi, dan Kerja Sama Kebudayaan, Endah T.D Retnoastuti, menegaskan bahwa sastra dan gastronomi memiliki kedekatan erat dengan kehidupan manusia. Keduanya hadir dalam keseharian dan tumbuh bersama perjalanan peradaban suatu bangsa.

Menurutnya, kekayaan kebudayaan Indonesia, baik yang bersumber dari warisan tradisional maupun ekspresi kontemporer, merupakan kekuatan identitas nasional. Identitas inilah yang menjadi modal penting dalam membangun soft power Indonesia di tengah persaingan global.

“Kebudayaan Indonesia dari warisan tradisional hingga ekspresi kontemporer menjadi kekuatan identitas nasional dan soft power untuk menghadapi persaingan global,” ujar Endah. Ia menegaskan bahwa diplomasi budaya merupakan bagian integral dari diplomasi negara yang dijalankan pemerintah.

Endah juga menggambarkan peran kebudayaan sebagai elemen penggerak utama dalam diplomasi. “Tentunya kami adalah bagian dari diplomasi yang dijalankan oleh pemerintah yang dipimpin oleh Kementerian Luar Negeri. Jadi apabila Kementerian Luar Negeri adalah mesin, bisa dibilang kebudayaan adalah bahan bakarnya,” paparnya.

Pernyataan tersebut menekankan bahwa diplomasi budaya bukan sekadar pelengkap. Kebudayaan justru menjadi sumber energi yang menghidupkan pesan dan nilai Indonesia di mata dunia.

Dalam refleksi mengenai arah kebijakan kebudayaan nasional, Endah menyebutkan bahwa selama satu tahun terakhir Kementerian Kebudayaan terus membangun pandangan kolektif. Fokus utamanya adalah memperkuat kebijakan diplomasi kebudayaan agar lebih terarah dan berdampak.

Ia mengakui bahwa tantangan terbesar saat ini adalah menyatukan prioritas dan arah diplomasi budaya. Keterpaduan antarprogram menjadi kunci agar pesan kebudayaan Indonesia tersampaikan secara konsisten.

Diplomasi Budaya dan Dampaknya bagi Komunitas

Endah menekankan bahwa kemajuan kebudayaan tidak boleh berhenti pada tataran simbolik. Kemajuan tersebut harus memberikan manfaat nyata bagi pelaku dan komunitas budaya di dalam negeri.

Menurutnya, hubungan antara kebudayaan dan kesejahteraan masyarakat harus berjalan beriringan. Tanpa dampak ekonomi dan sosial, diplomasi budaya akan kehilangan makna substansialnya.

“Pada akhirnya, kemajuan kebudayaan yang dimaksud juga harus berdampak pada ekonomi kreatif dan kesejahteraan komunitas budaya,” tutur Endah. Ia menegaskan bahwa budaya harus mampu menjadi mesin penggerak bangsa secara menyeluruh.

Pernyataan ini menempatkan sastra dan gastronomi tidak hanya sebagai alat promosi. Keduanya juga dipandang sebagai sektor yang mampu membuka peluang ekonomi dan meningkatkan taraf hidup pelaku budaya.

Melalui gelar wicara “Dari Kata ke Rasa”, Endah berharap lahir strategi sinergi yang lebih kuat. Kolaborasi lintas sektor dinilai penting untuk memperluas jangkauan diplomasi budaya Indonesia.

Ia menilai bahwa sastra dan gastronomi memiliki karakter fleksibel. Keduanya mudah dipadukan dengan berbagai platform, baik pendidikan, pariwisata, maupun ekonomi kreatif.

Dengan pendekatan kolaboratif, diplomasi budaya diharapkan tidak berjalan sendiri-sendiri. Setiap program harus saling menguatkan dan menciptakan dampak berkelanjutan.

Sastra dan Gastronomi sebagai Cermin Peradaban

Staf Ahli Menteri Luar Negeri Bidang Sosial, Budaya, dan Pemberdayaan Manusia, Kamapradipta Isnomo, turut menegaskan pentingnya peran sastra dan gastronomi. Menurutnya, dua elemen ini merupakan spirit utama dari identitas budaya suatu bangsa.

Ia menjelaskan bahwa sastra berfungsi sebagai cermin sejarah, karakter, dan kondisi sosial masyarakat. Melalui karya sastra, dunia dapat memahami perjalanan dan nilai yang dianut suatu peradaban.

“Sastra dan gastronomi penting untuk mengetahui suatu peradaban,” ujar Kamapradipta. Ia menekankan bahwa sastra mencerminkan aspek sejarah, karakter, dan sosiologis suatu bangsa.

Selain sastra, gastronomi juga memiliki peran yang tidak kalah penting. Makanan dianggap mampu merepresentasikan temperamen dan emosi kolektif masyarakat.

Menurut Kamapradipta, cita rasa dalam gastronomi menyimpan cerita tentang lingkungan, tradisi, dan cara hidup. Dengan mencicipi makanan suatu bangsa, orang dapat merasakan karakter budaya yang melekat di dalamnya.

Pandangan ini menegaskan bahwa diplomasi budaya tidak selalu harus disampaikan melalui narasi panjang. Terkadang, sepiring makanan atau sebuah cerita mampu menyampaikan pesan yang lebih dalam.

Indonesia sendiri memiliki kekayaan sastra lama yang luar biasa. Banyak di antaranya masih tersimpan dalam manuskrip kuno yang belum sepenuhnya dikenal publik luas.

Salah satu contoh adalah Serat Centhini yang memuat beragam kisah kehidupan, termasuk cerita tentang Susada. Naskah ini menjadi bukti bahwa sastra Nusantara telah lama merekam dinamika sosial dan budaya masyarakat.

Selain itu, terdapat pula naskah kuno yang mengisahkan perjuangan Perang Diponegoro. Tahun ini bertepatan dengan peringatan 200 tahun peristiwa bersejarah tersebut.

Menghidupkan Naskah Lama dengan Pendekatan Baru

Kepala Perpustakaan Nasional, Prof. E. Aminudin Aziz, menyampaikan rencana untuk menghidupkan kembali naskah-naskah kuno. Salah satu langkah yang akan dilakukan adalah menggubah manuskrip tersebut ke dalam bentuk komik.

Proyek ini direncanakan dalam 25 seri yang dikerjakan bersama kreator dari Institut Teknologi Bandung dan komunitas perkomikan. Pendekatan visual dipilih agar sastra lama lebih mudah diakses generasi muda.

Transformasi ini diharapkan mampu menjembatani jarak antara warisan budaya dan audiens masa kini. Dengan format yang lebih populer, nilai sejarah dan pesan budaya dapat tersampaikan secara efektif.

Langkah tersebut menunjukkan bahwa diplomasi budaya tidak harus terpaku pada bentuk lama. Inovasi menjadi kunci agar kebudayaan tetap relevan dan menarik di tengah perubahan zaman.

Gelar wicara “Dari Kata ke Rasa” menjadi salah satu wujud nyata komitmen Kementerian Kebudayaan. Kegiatan ini mencerminkan upaya mengintegrasikan nilai budaya ke dalam strategi diplomasi nasional.

Melalui sastra dan gastronomi, Indonesia tidak hanya memperkenalkan dirinya. Bangsa ini juga mengajak dunia untuk memahami nilai, rasa, dan cerita yang membentuk identitasnya.

Pendekatan ini diharapkan mampu memperluas pengaruh budaya Indonesia di tingkat global. Diplomasi budaya pun menjadi sarana untuk membangun hubungan yang lebih bermakna dan berkelanjutan antarbangsa.

Dengan menjadikan kata dan rasa sebagai bahasa diplomasi, Indonesia menegaskan bahwa kekuatan budaya adalah aset strategis. Dari sanalah identitas bangsa berbicara, melampaui batas geografis dan perbedaan latar belakang.

Terkini